Fasih di Lisan, Alpha Tindakan

*Rakanda Muhammad Taufiq Ulinuha

يـاَيـُّهَا الَّذَيـْنَ امَنُوْا لِمَ تَـقُوْلُـوْنَ مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. كَـبُرَ مَقْتـًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَـقُوْلُـوْا مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ
Pembahasan ini kita awali dengan Surat Ash Shaff Ayat 2-3 yang terjemahannya “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Merujuk pada judul artikel ini, maka saya mengaitkannya dengan Undang-Undang (UU) Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan itu sendiri. Dimana pada UU Nomor 10 disebutkan bahwa “Pandu HW itu Suci dalam Hati, Pikiran, Perkataan dan Perbuatan.”. Dalam narasi UU HW Nomor 10, terdapat tiga entitas (hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan) yang menjadi satu kesatuan, mengapa demikian ? Karena dalam kehidupan diperlukan keserasian antara keempat hal tersebut, agar apa yang ingin kita lakukan, dapat berjalan dengan baik.
Berbicara terkait hukum yang ada di Indonesia, Muhammadiyah telah bersepakat bahwa Indonesia adalah Negara dengan konsep Daarul Ahdi Was Syahaadah. Maka penempatan wakil rakyat pada level pimpinan, adalah sesuatu yang wajar. Namun seringkali wakil rakyat yang telah mendapatkan mandataris dari rakyat itu sendiri, lalai dengan amanah yang diemban. Banyak aturan-aturan yang dibuat namun tidak mengedepankan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut muncul karena ketidak mampuan wakil rakyat dalam menginterpretasi keinginan rakyat itu sendiri, alhasil kebijakan-kebijakan itu sendiri tidak memihak kepada rakyat. Sebagai contoh adalah RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang mana didalamnya disinyalir ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara sekuler, terbukti dengan digesernya sila pertama menjadi sila paling terakhir. Hal ini sangat tidak relevan dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas ber Tuhan. Dan tidak sedikit yang mengingkari apa yang sudah mereka putuskan sebagai sebuah hukum dan aturan.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Surat Al Baqarah Ayat 44
أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” Merujuk ayat diatas, orang-orang yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya, maka akan mendapatkan balasan dari Allah. Termasuk orang-orang yang menyampaikan sesuatu, namun dirinya tidak melaksanakan apa yang mereka sampaikan. Ayat diatas diperkuat dengan Hadits Dari Usamah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan didatangkan seorang pada hari kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka. Di dalam neraka orang tersebut berputar-putar sebagaimana keledai berputar mengelilingi mesin penumbuk gandum. Banyak penduduk neraka yang mengelilingi orang tersebut lalu berkata, ‘Wahai Fulan, bukankah engkau dahulu sering memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Orang tersebut menjawab, ‘Sungguh dulu aku sering memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya. Sebaliknya aku juga melarang kemungkaran tapi aku menerjangnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kembali pada UU HW, sebagai Pandu HW kita harus mampu mengimplementasikan UU Pandu HW secara komprehensif (menyeluruh), salah satunya UU Nomor 10 yang mengharuskan kita suci dalam hati, pikiran, perkataan dan perbuatan. Kata “suci” dapat diartikan juga sebagai kemurnian, kemurnian dalam hal apa ? Kemurnian dalam merasakan dengan hati, dianalisa dengan pikiran, disampaikan dengan ucapan, dan dilaksanakan dengan perbuatan. Sebagai contoh adalah konsep Iman didalam Agama Islam, dimana Iman itu “An tashdiiqu bil qolbi wa tafdhiilu bil lisaani wa’malu bil arkaani”. (Al-Iman wal Hayah, oleh Syaikh Dr. Yusuf Al Qardhawi). Apalagi dengan semboyan “Sedikit Bicara, Banyak Bekerja” (Talk Less Do More) Pandu HW harus menjadi contoh dan pelopor yang baik bagi lingkungan sekitar, dan masyarakat.
Salah seorang tokoh Muhammadiyah, Bapak Djazman Al Kindi pernah menyatakan bahwa ‘Ilmu itu ‘Amaliyah dan ‘Amal itu harus ‘Ilmiyyah. Maka sebelum melakukan tindakan, seorang manusia hendaknya belajar terlebih dahulu, agar tindakan yang akan dilakukan sesuai sebagaimana mestinya. Sebagai analogi, ketika seseorang ingin bisa menerbangkan pesawat, maka ia harus mempelajari bagaimana ilmu penerbangan, ketika seseorang ingin menjadi pemimpin, maka ia harus belajar leadership, dsb. Suatu ketika Ali R.A pernah menyampaikan “Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka baginya Ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka baginya Ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka baginya Ilmu.”. Sudah jelas bukan, sebagai seorang manusia, sebagai seorang muslim, sebagai seorang kader Muhammadiyah, kita sudah seharusnya mempelajari berbagai jenis ilmu pengetahuan, agar nantinya apa yang kita lakukan sesuai dengan ilmunya. Dan sebagai catatan, ketika kita sudah mengerti ilmunya, maka wajib disampaikan kepada orang lain dan diamalkan.
Berikut ini, beberapa perkataan salafus shalih berkaitan dengan masalah ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih :
1. Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama dan amalkanlah dan janganlah kalian belajar untuk mencari decak kagum orang. Jika kalian berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa tersebut orang mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki sebagaimana mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.”
2. Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, “Semua orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya siapa yang perbuatannya sejalan dengan ucapannya itulah orang yang dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain perbuatan itulah orang yang mencela dirinya sendiri.”
3. Al-Hasan Bashri mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya. Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
4. Imam Malik menyebutkan bahwa beliau mendapatkan berita Al-Qasim bin Muhammad yang mengatakan, “Aku menjumpai sejumlah orang tidak mudah terkesima dengan ucapan namun benar-benar salut dengan amal perbuatan.”
5. Abu Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan bagi orang yang tidak tahu sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan untuk orang yang tahu namun tidak beramal.”

*Ketua Bidang Kegiatan Dewan Sughli Wilayah Jawa Tengah, Ketua Dewan Sughli Daerah Kwarda Kabupaten Kendal

Read More

Related Articles